(written & illustrated by Nadhira Fidelia)
Sang Naga besar selalu bertempur, dengan apinya tentunya. Kadang beberapa dari kita berfikir, “dari manakah datangnya api naga tersebut?” Jawabannya adalah dari jerih payah masayarakat di desa Perut Naga, desa dimana kami tinggal dan bekerja.
Api yang keluar dari mulut Sang Naga berasal dari pembakaran
tumbuhan-tumbuhan yang kami tanam setiap harinya. Tumbuhan-tumbuhan tersebut
akan dimasukkan kedalam Lubang Hitam, lubang yang sangat besar dan gelap, tidak
ada satu orangpun yang berani mengintip kedalamnya, karena apapun yang jatuh
kedalam lubang tersebut akan terbakar menjadi bara api yang selanjutnya akan
disimpan didalam tabungan api Sang Naga.
Jadi beginilah hidup kami, pagi siang malam bekerja untuk
raja kami. Ingin sekali aku merasakan hidup diluar sana, dimana gadis-gadis
seumurku merasakan pahit manisnya hidup serta cinta. Ah, bukan hanya itu, aku
juga ingin bisa melihat keadaan dunia diluar sana, sepertinya mengagumkan.
Namaku Edward, aku sudah lama tinggal di Desa Perut Naga,
bekerja untuk Sang Raja tanpa kenal lelah. Semua orang sudah mengenalku dengan
julukan ‘Si Anak Naga’ karena semangat kerjaku yang tinggi.
Selain semangat kerjaku yang tak ada tandingannya, sudah
beberapa minggu ini aku memperhatikan seorang gadis sederhana yang menurutku
sangat baik hati dan pekerja keras, namun orang-orang menganggap remeh dirinya
karena dia satu-satunya remaja perempuan yang paling muda dan tubuhnya kecil.
Gadis itu perlu kereta dorong untuk mengangkut tumbuhan-tumbuhan dimana tidak
ada seorang pun yang membutuhkannya. Karena itu, semua orang meremehkannya. Gadis itu bernama Evelyn.
Dan, betul. Semua orang yang mendengar teriakkan Reina ikut
tertawa karena aku juga tahu kalau mereka semua meremehkanku. Lalu, ketika
semua orang sudah selesai menertawakanku dan pergi, aku menemukan sebuah surat
didalam kereta dorongku.
Maka aku naik ke puncak pohon ek, dan aku kaget ketika sampai puncak pohon
dan bertemu dengan tangga yang sangat tinggi hingga ke langit, dan aku heran
karena tangga ini tidak pernah terlihat keberadaannya sebelumnya. Tapi karena
penasaran, tanpa pikir panjang aku telah sampai di anak tangga tertinggi.
"Apa ini? Kenapa begitu indah?" kata-kata itu dengan sendirinya keluar dari mulutku.
Tiba-tiba aku teringat dengan pekerjaanku, lalu secara
spontan aku turun kebawah untuk melanjutkannya. Aku kembali mengangkut wortel
dan sawi menuju lubang hitam.
Aku sudah sampai di gerbang Lubang Hitam. Aku bertemu dengan
Edward, sosok lelaki yang dipuji semua orang karena kerja kerasnya. Aku jarang
bertemu Edward, karena aku malu dengan statusku yang selalu diremehkan, berbeda
jauh dengan dirinya. Aku sudah lama mengagumi Edward, karena sifatnya yang
tidak mudah menyerah dan wajahnya yang mempesona. Tak lama, Edward menyapaku.
“Apakah kau tidak bergabung dengan yang lainnya di taman?
Aku dengar Reina mengadakan pesta wortel karena dirinya memecahkan rekor
membawa 70 wortel dengan satu tangan”
“Ah, tidak. Aku terlalu malu melihatkan keberadaanku disana.
Bagaimana dengan kamu? Bukankah acaranya akan semakin seru jika ‘Si Anak Naga’
ikut bergabung? Hahaha.” Jawabku sambil tertawa malu.
“Hahaha, aku tidak terlalu suka keramaian. Lebih baik aku
disini bekerja memasukkan wortel dan sawi kedalam lubang hitam. Oh iya, silakan
kalau kamu mau duluan memasukkan bawaanmu ke lubang hitam, aku setelah giliranmu saja.”
Maka aku berjalan ke tepi lubang hitam. Namun seketika aku
terpeleset dan kereta dorongku terjatuh kedalam lubang hitam, dan secara
spontan aku ingin mengambilnya namun Edward langsung menahan gerakanku dan mencoba
menangkap kereta dorong tersebut. Dan ketika Edward mencoba menangkap, dirinya
pun tidak mampu menangkap dan jatuh ke lubang hitam, namun untungnya dia masih
bisa bertahan dengan berpegangan di tepi lubang.
Aku mencoba menarik tangan Edward. Namun tubuh Edward jauh lebih
besar dan jauh lebih berat dariku sedangkan tubuhku sangat kecil dan kurus. Dan
aku menengok ke sekitar dan tidak ada
wujud seorangpun karena semua orang sedang berpesta di taman. Edward lalu
berkata sambil mencoba bertahan,
“Sudah, Ev. Tidak perlu panggil mereka.”
Aku panik dan bingung, akhirnya air mataku menetes. Sambil
memegang tangan Edward dan merasakan urat-uratnya yang tegang karena sedang
mencoba bertahan, aku berkata “Maafkan aku Ed, Ini semua karena kecerobohanku.”
“Tidak, Ev. Maafkan aku karena aku tidak sanggup menangkap
kereta dorongmu, aku tahu kamu tidak dapat bekerja dengan kereta dorong itu.
Setelah ini, aku mau kau pergi ke rumahku dan mengambil kereta dorong
peninggalan kakekku di gudang. Ah, aku sudah tidak tahan lagi, sepertinya aku
akan melepas tanganku.”
“Edward! Tahan!” Aku mencoba menarik tangan Edward lagi,
namun apa daya, aku terlalu kecil.
“Ev, mulai hari ini jangan pernah kau beri tahu ke siapapun
tentang kejadian ini. Anggap tidak terjadi apa-apa. Maafkan aku, Ev.”
“Edward! Tolong tahan, Ed! Aku akan coba cari seseorang di
sekitar sini yang bisa menarikmu, kamu tunggu dan coba tetap bertahan!” Lalu aku
berbalik badan, berdiri untuk berlari mencari bantuan.
“Ev!” suara itu menghentikanku. “Ev! Sudah kubilang tak
perlu kamu pergi ke taman itu! Taman itu sangat jauh dan aku tidak bisa
bertahan lama lagi, tanganku sudah terlalu sakit. Sudahlah, Ev. Biarkan saja
aku.”
Aku berbalik badan lagi, berlari menuju Edward dan memegang
tangannya sambil menangis. Tiba-tiba Edward memanggil namaku dan berkata,
“Ev, sudahkah kamu naik ke puncak pohon ek? Indah bukan?”
Kata-kata itu membuatku terdiam. Hadiah terbesar dan
terindah yang pernah kuterima ternyata adalah pemberian dari seseorang yang tak
pernah aku duga sebelumnya.
“Selamat ulang tahun, Ev. Jangan lupa ambil kereta dorong di
gudang rumahku.”
Lalu Edward melepaskan tangannya dan terjatuh kedalam lubang
tersebut.
Aku melihat air matanya menetes ketika dia terjatuh, sambil
menatapku dan tersenyum. Aku berteriak memanggil namanya, terus berteriak
walaupun aku tahu aku tidak dapat mendapatkannya kembali. Aku sadar bahwa aku
kehilangan satu-satunya orang yang telah memberikanku kebahagiaan yang akan berbekas
selamanya di hatiku, di hari ulang tahunku.
No comments:
Post a Comment